Kamis, Januari 08, 2009

Keimanan: Malaikat, pembantu Allah ???

Allah swt. Maha Kuasa, Maha berkehendak, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Gagah, dan Maha-Maha lainnya. Allah swt. pasti dapat mengontrol semua mahkluk-Nya tanpa bantuan malaikat, lalu mengapa Allah swt. menciptakan malaikat? Apakah Allah swt. memerlukan bantuan malaikat dalam mengatur alam ini? Apa fungsi dan tujuan diciptakannya malaikat oleh Allah swt? Begitu kira-kira pertanyaan yang ada dalam benak anak-anak muridku sebulan yang lalu.

Sepintas pertanyaan mereka tidak perlu dijawab, karena hanya Allah-lah yang tahu pasti akan fungsi dan tujuan malaikat diciptakan. Namun jika tidak dijawab, pasti akan selalu terbesit dalam hati mereka bahwa Allah sebenarnya Maha Lemah, tidak mampu mengatur alam ini sendirian, Ia butuh bantuan malaikat, maka Ia menciptakan mereka.

Tepat pukul 19.15 di malam jum'at selepas shalat maghrib, aku menghadiri pengajian kitab Qathru al-Ghois (kitab yang menjelaskan tentang Tauhid) yang diadakan di mushalla dekat rumah. Pada sesi pertanyaan, ada seorang hadirin meminta pak Kiai untuk menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di malam Lailatul Qadar (yang katanya malam seribu bulan). Pak Kiai menjelaskan bahwa pada malam itu malaikat semuanya akan turun ke bumi (Qs. Al-Qodr: 4) dan hanya dapat disaksikan oleh orang yang "kebetulan" beribadah di malam itu. Tiba-tiba, seorang hadirin yang lain menyela penjelasan pak Kiai. "Pak Kiai, jadi di malam itu kita bisa melihat malaikat, kalau datangnya bersama Allah Swt kita bisa melihat-Nya tidak?" sang Kiai tersenyum lalu mengeluarkan sebuah ayat al-Qur'an yang berbunyi: La yudrikuhul abshar wa huwa yudrikuhul abshar, (manusia tidak bisa melihat Allah di dunia, tapi Allah melihat mereka).

Selepas pengajian, aku tak bisa tidur, termenung, dan berpikir, namun bukan materi pengajian pak Kiai yang aku pikirkan. Aku masih teringat pertanyaan anak-anak yang lupa ku tanyakan pada beliau. Namun, ternyata dari penjelasan pak Kiai tentang malam lailatul Qodr, aku jadi teringat kisah sosok pemuda yang merupakan jelmaan malaikat Jibril datang ke hadapan Rasulullah saw. dan para sahabatnya menanyakan Iman, Islam, dan Ihsan, juga kisah dua malaikat yang datang pada Nabi Ibrahim, Nabi Luth, dan Siti Maryam, serta banyak lagi cerita para Nabi dan ulama yang dapat melihat malaikat langsung dengan mata telanjang.

Mungkin ini maksud Allah menciptakan malaikat. Allah tidak mungkin menampakkan diri-Nya di dunia (baca kisah Pertemuan Nabi Musa dengan Allah swt. di gunung Thurusina). Sedangkan malaikat dapat berkomunikasi dengan manusia dan berubah wujud sesuai yang dikehendaki oleh Allah swt. Mungkin salah satu hikmah diciptakannya malaikat adalah untuk kepentingan manusia dan membantu segala keperluannya (baik yang berkaitan dengan rizki, amal, ibadah, dan lainnya). Karena manusia (orang pilihan tentunya) dapat berkomunikasi langsung dengan malaikat. Dan malaikat akan menjadi perantara untuk mengkomunikasikannya kembali pada Allah Swt.

Jadi sebenarnya Allah tidak membutuhkan malaikat, bahkan manusialah yang membutuhkannya. Dan sudah seharusnya manusia berterima kasih pada Allah swt. yang telah menciptakan malaikat. Karena malaikat diciptakan untuk kepentingan manusia. Pak Kiai pernah mengatakan bahwa seluruh alam ini dan isinya diperuntukkan bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini (termasuk malaikat). Wallahu a’lam

Ibadah: Mengapa kita harus shalat?

Mengapa ya kita harus shalat? Karena shalat itu untuk mengingat Allah...
Mengapa kita harus ingat Allah? Karena Allah sayang kita
Bener nggak Allah sayang kita, ayo kita buktikan ya..

Ayo... Ainun coba tutup matanya pake saputangan, terus jalan2 di dalam rumah...
Nabrak nggak? Nah sekarang, kalo jalannya di luar gimana? wah, bisa jatuh, bisa ketabrak..
Padahal cuma ditutup saputangan, tapi bisa bikin kita repot ya... Gimana coba kalo kita bener-bener nggak punya mata?

Itu baru mata, gimana kalo nggak punya mulut? Wah, nggak bisa makan, gak bisa ngobrol...
Kalau tangan, kaki? nggak bisa jalan, nggak bisa ngapa-ngapain...!!

Ayo, semua itu dari siapa? Dari Allah kan?

Oh ya, inun suka buah apa? Suka Strawberry? Ayo... yang menciptakan Strawberrry siapa?
Yang nyiptain hujan supaya strawberrynya tumbuh siapa? Allah ya?

Ya, Allah itu sayang sekali sama kita...
Mau nggak matanya diganti sama kelereng, tapi dikasih uang satu milyar... hehehehe
Nggak mau kan? Atau Kakak beli tangannya deh,diganti sama manekin...diganti sama es krim strawberry sebanyak mungkin yang kamu mau! oh masih nggak mau?

Nah, Allah sudah memberi kita semua yang kita perlukan, mahal sekali,sampe nyaris siapapun nggak mau diambil matanya, mulutnya, tangannya, biar diganti sama uang sebesar apapun.

Allah sayang kita kan?

Allah sudah memberi tangan, kaki, mulut, dan semua yang ada di tubuh kita, masa kita nggak mau bilang makasih sih? Allah cuma minta kita lapor sama Allah sehari 5 kali aja kan? Nggak susah kan?

Allah udah memberi banyak sekali sama kita. Coba, sebulan ini ayah kerja, ayah dikash uang setelah ayah kerja sebulan. Allah memberi banyak sekali sama kita, tanpa kita harus kerja loh... masa kita cuma disuruh lapor sama Allah tiap hari nggak mau?


Ainun tahu tenda? Tenda itu yang suka dipake kemping itu loh. Kaya rumah, tapi dari kain. Itu loh, mirip rumah-rumahan dari kain yang suka dibikin Ainun pake kursi.

Coba Ainun bikin rumah-rumahan pake kursi, diatasnya ditutup kain. Coba tiangnya (kursinya) dicabut. Rubuh gak? Jadi rumah gak? nggak ya... nggak bisa dibuat rumah lagi...
jadi bukan tenda lagi, jadi cuma selembar kain...

Nah.... tau nggak, shalat itu kayak kursi buat rumah-rumahan Ainun, atau kayak tiang buat tenda. Tenda itu agama kita, islam. Kalo dicabut, apa yang terjadi? Tendanya rubuh... rumahnya rubuh. RUmahnya nggak ada lagi, Tendanya juga jadi nggak ada, cuma selembar kain...

Begitupula agama kita, kalo kita nggak shalat, agamanya rubuh, hancur, nggak ada. Kenapa?

Ainun tau nggak, ada orang yang tadinya rajin shalat. Karena sibuk kerja, dia jadi merasa shalat itu ngerepotin, nggak sempat deh. Akhirnya dia jadi jarang shalat, lama-lama jadi nggak pernah shalat.

Ketika dia ditawarin minuman keras, yang dulu waktu dia shalat nggak mau minum, sekarang dia jadi mikir, ah aku kan udah nggak solat, kenapa nggak, masa aku sok suci... , ya udah, akhirnya dia minum minuman keras....

Yang dulu sewaktu rajin shalat, dia nggak mau makan babi, sekarang jadinya mau....
Yang dulu sewaktu rajin shalat, dia nggak mau berjudi, sekarnag mau
Yang dulu sewaktu rajin shalat, dia nggak mau bohong, sekarang dia jadi sering bohong...

Akhirnya, islamnya jadi sulit dikenali, apa dia orang islam betulan, ketika semua yang dilarang islam dilakukan? Bener kan, agamanya jadi ilang ketika dia berhenti shalat..

Begitu nun... Jadi...
Mengapa kita harus shalat?
Karena
1. shalat itu intinya agama kita, sekali kita nggak membiasakan shalat, kita akan susah membuat kita tetap di dalam agama kita
2. shalat itu untuk mengingat Allah, karena Allah sayang kita
3. Shalat itu untuk berterimakasih sama Allah yang udah memberi kita banyaaaaaaaak banget...

Nah ngerti kan?

Ibadah: Shalatlah, dimana dan bagaimanapun keadaanmu!

Shalat Adalah Ibadah Para Nabi

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bahwa shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam?
Shalat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai berikut:
1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (Al Anfal: 2-3)
2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ

“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Shalat merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ

“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
4. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani)
5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu wata'ala di atas langit yang ke tujuh.

Shalat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wata'ala
Allah subhanahu wata'ala menyebutkan secara tegas di dalam Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah subhanahu wata'ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.
Kemudian Jibril membawa beliau menuju langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ? tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj.
Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238)

Pelatihan Shalat Sejak Dini
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah subahanhu wata'ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha: 132)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil 2/7)

Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat
Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:
1. Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)
2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )
3. Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).
4. Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)
Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wata'ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Ancaman Meninggalkan Shalat
Para pembaca yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat.
Allah subhanahu wata'ala telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ...” (Al Muddatstsir: 42-43)
Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Diantaranya:
1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)
2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pembeda antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat Shahih At Targhib no. 566)
4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr (arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap kejelekan.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)
Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?, diantaranya:
Umar radhiallahu anhu berkata:

لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:

مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)
Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ

“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At Targhib no. 575)
Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dihadapan Allah subhanahu wata'ala.

Keimanan: Abu Hanifah dan Ilmuwan

K

isah berikut adalah penuturan dari Imam Abu Hanifah. Pada zaman itu ada seorang ilmuwan besar yang sangat terkenal. Sayangnya, ilmuwan berkebangsaan Romawi ini seorang atheis dan menolak mentah-mentah keberadaan Tuhan.

Ketika itu, para ulama diam saja dan tidak berusaha untuk menyadarkan si ilmuwan. Tentu saja tidak semua ulama diam, masih ada yang peduli dengan keadaan tersebut. Hal ini bisa berbahaya jika membiarkan si ilmuwan memengaruhi akidah umat. Ulama yang dimaksud adalah guru Abu Hanifah yang bernama Hammad.

Pada suatu hari, orang-orang sudah brkumpul di sebuah mesjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang mau berdebat dengannya. ada maksud tersembunyi dibalik tantangan itu. Sesungguhnya, dia bermaksud menjatuhkan para ulama dengan argument-argument yang rasional.

Si ilmuan semakin congkak, apalagi setelah tantangannya tak bersambut. Dia mengira semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorangpun yang berani menyambut tantangannya. Hal ini semakin diperkuat dengan suasana didalam mesjid yang tiba-tiba hening. Beberapa orang saling pandang, ada pula yang mengarahkan pandangan ke deretan paling depan tempat beberapa ulama duduk.

Dari sekian banyak hadirin. Ada seorang pemuda yang merasa sebel melihat kecongkakan si ilmuwan. Namun, ia berusaha menahan diri, barangkali ada seorang ulama senior yang berani tampil menghadapi tantangan itu.

Sang pemuda menunggu lama. Setelah yakin tak ada yang mau maju, barulah ia berdiri dan melangkah menuju mimbar.

“Saya Abu Hanifah, siap berdebat dengan Anda,” kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri.

Semua mata hadirin tertujua kearah Abu Hanifah. Mereka merasa heran melihat keberanian sang pemuda. Beberapa orang mengatakan salut kepada Abu Hanifah, si ilmuwan sendiri merasa heran melihat keberanian Abu Hanifah. Akan tetapi, kebanyakan hadirin bersikap sinis terhadap Hanifah dan menyepelekan kemampuannya. Ada pula yang mempertanyakan motif Abu Hanifah tampil ke depan. Apakah sekedar asal tampil, membuat sensasi, atau mencari popularitas?

Wajah Abu Hanifah tetap tenang. Beliau tidak terpengaruh oleh berbagai bisikan yang ada, termasuk yang bernada miringsekalipun. Sikap Abu sangat rendah hati. Dia menahan diri untuk berbicara karena merasa masih terlalu muda, sementara didalam mesjid masih ada beberapa ulama senior. Dia sendiri berharap ada seorang ulama senior yang mau meladeni tantangan si ilmuwan. Sayang, tidak ada seorangpun dari mereka yang mau naik ke mimbar.

“Silahkan anda yang memulai,” ujar Abu Hanifah mempersilahkan dengan sopan.

“Tahun berapa Tuhan kamu dilahirkan?” Tanya ilmuwan kafir.

“Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan,” jawab Abu Hanifah.

“ Hmm, masuk akal jika dikatakan Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Lalu, pada tahun berapa Dia ada?”

“Dia ada sebelum segala sesuatu ada,” tegas Abu Hanifah.

“Bisa berikan contoh konkret mengenai hal ini?”

“Anda tahu tentang perhitungan?” Abu Hanifah balik bertanya.

“Iya, saya tahu.”

“Angka berapa sebelum angka satu?”

“Tidak ada,” jawab ilmuwan kafir.

“Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu. Lalu, mengapa Anda bingung bahwa sebelum Allah itu tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya?”

“Baiklah. Sekarang, dimanakah Allah berada? Sesuatu yang berwujud pasti membutuhkan tempat, bukan?” lanjut si ilmuwan.

“Anda tahu bentuk susu?” Tanya Abu Hanifah.

“Iya, saya tahu,” jawab si ilmuwan.

“Apakah didalam susu itu terdapat keju?”

“ya, tentu.”

“Kalau begitu, coba perlihatkan dimana tempat keju itu sekarang!”

“Jelas tidak ada tempat khusus. Keju itu bercampur dengan susu diseluruh bagiannya,” jawab si ilmuwan dengan semangat.

“Nah, keju saja tidak mempunyai tempat khusus didalam susu. Tidak sepatutnya Anda meminta saya untuk menunjukkan tempat Allah berada.”

“Sekarang, tolong jelaskan Dzat Allah. Apakah wujud Allah itu benda padat seperti batu, benda cair seperti susu, ataukah seperti gas?”

“Anda pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal dunia?”

“Pernah.”

“Awalnya, orang sakit itu bisa berbicara dan bisa menggerakan anggota badannya, bukan? “Ya, memang demikian halnya.”

“Tetapi, mengapa tiba-tiba orang sakit itu diam tidak bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?”

“Jelas itu karena ruh orang tersebut telah berpisah dari tubuhnya.”

“Sewaktu ruh itu keluar, apakah Anda masih berada disana?”

“Saya masih disana.”

“Coba jelaskan, apakah ruh orang tersebut benda padat, cair, atau gas?”

“Wah, kalau itu saya tidak tahu.”

“Anda sendiri tidak dapat menerangkan bentuk ruh, apalagi saya harus menerangkan Dzat Allah yang menciptakan ruh.”

“Lazimnya, sesuatu itu mempunyai arah. Kemanakah Allah menghadapkan wajah-Nya sekarang?” Tanya si ilmuwan lagi.

“Apabila Anda menyalakan lampu, kearah manakah cahaya lampu itu menghadap?”

“Cahayanya menghadap ke semua arah.”

“Lampu yang buatan manusia saja seperti itu, apalagi dengan Allah Sang Pencipta alam semesta, Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Ada awal dan akhir. Seseorang masuk surga itu ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akhirnya? Mengapa surga dan para penghuninya itu kekal abadi?” kata si ilmuwan melanjutkan pernyataannya.

“Untuk hal itu, Anda bisa membandingkannya dengan perhitungan angka. Angka itu ada awalnya, tetapi tidak ada akhirnya.”

“Terus, bagaimana pula para penghuni surga itu makan dan minum tanpa buang hajat?”

“Ini pernah Anda alami sewaktu didalam rahim ibu. Selama sembilan bulan Anda makan dan minum tanpa pernah buang hajat. Anda baru buang air besar dan buang air kecil beberapa saat setelah terlahir ke dunia.”

“Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan surga itu bisa terus bertambah tanpa ada habisnya!”

Ada banyak hal yang semacam itu didunia. Misalnya, ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang ketika dimanfaatkan, malah semakin bertambah.”

“Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa pekerjaan Allah sekarang?”

“Sejak tadi Anda menjawab pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari atas lantai masjid ini. Kali ini untuk menjawab pertanyaan anda, saya mohon Anda turun dari mimbar. Saya akan menjawab pertanyaan Anda tadi di mimbar.”

Kemudian, si ilmuwan turun dari mimbar, dan Abu Hanifah naik ke mimbar.”

“Saudara-saudara, dari atas mimbar ini saya akan menjawab pertanyaan tadi. Bisa anda ulangi pertanyaannya?” tutur Abu Hanifah setelah berada diatas mimbar masjid.

“Apa pekerjaan Allah sekarang?” kata si ilmuwan menjelaskan inti pertanyaanya.

“Pekerjaan Allah tentu saja berbeda dari pekerjaan makhluk. Ada pekerjaan-Nya yang bisa dijelaskan, dan ada pula yang tidak bisa dijelaskan. Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir seperti Anda dari atas mimbar, kemudian menaikkan seorang Mukmin keatasnya. Seperti itulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu.”

Akhirnya, hadirin yang ada didalam masjid merasa puas dengan jawaban-jawaban Abu Hanifah. Jelas, lugas, tegas, dan mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun.