Kamis, Juli 30, 2009

Daya Spiritualitas Shalat

Daya Spiritualitas Shalat


SHALAT adalah doa. Doa yang diiringi gerakan-gerakan tubuh yang memiliki “daya spiritual” bagi yang melakukannya.
Namun, tak semua orang bisa merasakannya, hanya orang-orang tertentu saja. Rasulullah saw termasuk yang merasakan dan menemukannya, sehingga terasa sekali dampak dari shalat yang dilakukannya itu.

Masyarakat Arab yang musyrik berhasil diubahnya menjadi masyarakat yang bertauhid, berakhlak mulia, dan beradab. Sebagian tokoh Quraisy yang dulunya membenci—entah karena kalah atau memang sadar—bertekuk lutut dan mengakui kebesaran dan kebenaran risalah Islam yang dibawa putra Abdullah dan Aminah itu. Mereka berikrar syahadah dan menjalankan beban (taklif) yang diemban oleh seorang Muslim. Setelah wafat “penjaga” risalah itu, mereka—meskipun masih beridentitas Islam—kembali ke tradisi lama, seperti berlaku curang dalam urusan ekonomi dan menindas yang lemah. Kaum Muslim yang dekat dengan keluarga Nabi Muhammad saw banyak menjadi korban kekejaman mereka. Hingga abad pertengahan Masehi kedudukan mereka langgeng dalam kekuasaan yang turun temurun diwariskan ke anak dan keturunannya. Sebut saja penguasa-penguasa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah serta kerajaan-kerajaan yang mengaku beridentitas Islam, sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah saw.

Islam hanya menjadi identitas saja, bukan sebagai pedoman yang menuntun jalan hidup kita. Tingkah laku dan sikap mereka tak mencerminkan akhlak yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa kecewanya—bila pembawa risalah Ilahi itu masih hidup—melihat umatnya tak lagi mengikuti tata aturan hidupnya, bahkan bergelimang dalam dosa dan aktivitas madharat. Sehingga orang-orang yang setia dalam keislaman tidak terlihat peranannya karena tertutupi gencarnya aksi dan identitas mereka. Ini mungkin masalahnya sehingga tujuan dan nilai penting ibadah shalat yang dijalankan kaum Muslim tidak tampak dalam kesehariannya. Karena pikiran, mental, dan niatnya sudah tergadaikan dengan hal-hal yang berbau materi, hasrat berkuasa, kesenangan dunia, dan hasrat seksualitas yang berlebih. Sehingga yang shalat dan tak shalat, secara kasat mata tak ada bedanya. Menurut informasi, ada segelintir anggota dewan yang sebelumnya dikenal sebagai sosok `alim, nyantri, dan anti-maksiat, saat bersentuhan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terjerumus pula dalam kemaksiatan. Padahal, ia sehari-harinya melakukan shalat berjamaah dan penceramah dibeberapa majelis taklim. Sungguh ironis bukan!

Shalat yang bagaimanakah yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar itu? Dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 45, Allah Ta`ala berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.”

Memang harus saya akui urusan ibadah bila dilihat secara nyata dalam hidup ini tak ada kaitannya. Saya sendiri terkadang memisahkan urusan dunia dan ibadah, sehingga banyak pelanggaran yang dilakukan. Jika dalam shalat kita bisa berdiri menghadap kiblat dengan mantap dan bacaan yang mengalir. Namun dalam urusan menunggu atau antre kadang selalu ingin yang paling duluan. Jika dalam shalat saya bisa bertahan dalam menyelesaikan bacaan al-fatihah dan surat lainnya. Tapi di luar shalat, terutama saat mengerjakan pekerjaan, kadang suka melewati batas deadline dan bahkan pulang sebelum beres. Disiplin, mungkin jadi alasan. Ya, itu juga pelajaran dari shalat: tepat waktu. Harus saya akui bahwa itu memang sulit dan butuh dilatih terus-menerus. Ini yang saya rasakan: shalat saya masih belum berpengaruh dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Bila dilihat dari tafsir teologis, ayat di atas bisa dimaknai bahwa hakikat shalat adalah menumbuhkan keyakinan terhadap Allah Yang Mahasegalanya dan mengingatkan tentang adanya hari kebangkitan (al-ma`ad); sehingga berpengaruh kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Penjelasan ini setidaknya dapat dilihat dari aspek hukum (perintah Allah): jika shalat ia termasuk beruntung, dan bila tidak ia akan buntung atau rugi karena bakal kena azab.

Begitu juga dengan gerakan-gerakan shalat. Bisa ditafsirkan bahwa seseorang yang berdiri dan bertakbir dalam shalat merupakan bentuk pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang lebih agung, lebih besar, dan lebih tinggi kedudukannya dari semua makhluk di alam semesta ini. Saat membaca al-fatihah, diri (manusia) yang rendah di hadapan Allah mengakui secara lisan bahwa Allah adalah Tuhan yang memberikan kasih dan sayang serta berbagai kenikmatan hidup di dunia ini pada semua makhluk, termasuk manusia. Sambil mengucapkan pujian, diri kita memohon curahan kasih dan sayang-Nya; mengakui kekuasaan-Nya dan mengingat hari yang paling menentukan kedudukan manusia di akhirat. Melalui pembacaan surat al-fatihah: kita mengakui hanya Allah yang layak disembah dan dimintai pertolongan, baik dunia maupun di akhirat nanti. Melalui lantunan surat al-fatihah: makhluk rendah ini berdoa memohon kepada Allah agar diberi petunjuk-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus dan berlindung supaya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai-Nya serta tidak termasuk mereka yang tersesat.

Selanjutnya, badan kita bergerak untuk merunduk rukuk. Memaksakan diri untuk mengakui secara jasad bahwa Allah yang pantas disembah dan dimuliakan. Melalui rukuk kita memuji Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung. Dengan rukuk kita sadar bahwa diri ini rendah.

Pengakuan rendah dihadapan Allah semakin terasa saat sujud; bersungkur di atas tanah sekaligus mengakui bahwa manusia itu berasal dari saripati tanah, yang berarti makhluk hina. Kehinaan diri diangkat oleh-Nya dengan memasukkan ruh-Nya pada jasad sehingga hidup dan disebut manusia. Ruh yang suci dan unsur tanah yang hina menjadi satu dalam satu wadah: manusia. Keduanya saling mendominasi dan menggerakkan kita. Unsur tanah selalu mendorong kita pada perilaku yang hina, buruk, dan cenderung kepada materi. Sebaliknya, ruh suci menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus patuh dan taat serta memikul amanah dari-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia hanyalah makhluk biasa yang tidak abadi dan pasti bakal mati—saat tiba masanya ruh suci yang berada dalam diri manusia diambil kembali oleh pemilik-Nya. Dari pengakuan kita bahwa Allah Yang Mahatertinggi kedudukannya inilah gerakan sujud menjadi sarana penghapus segala ego dan kesombongan manusia.

Dari sikap rendah itu kita bangkit. Duduk bersimpuh dan bersaksi bahwa Allah adalah esa (tunggal) dan Muhammad merupakan utusan-Nya; yang membawa petunjuk hidup bagi manusia, yang kebenarannya terjamin hingga akhirat. Kita pun membaca shalawat, salam, dan doa untuk manusia agung, nabi terakhir Muhammad saw. Juga memohon kepada-Nya supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang saleh dan mendoakan saudara se-agama; menyebarkan kebaikan dan mewujudkan kedamaian di bumi-Nya. Di sinilah peran manusia sebagai khalifah dimulai: mengisi dan menjalankan kehidupan. Di sinilah pertentangan dalam diri dimulai: menjadi manusia sempurna atau menjadi makhluk hina.

Dari pemaknaan dan penghayatan shalat inilah seorang Muslim akan memiliki daya spiritualitas atau gelombang besar yang mampu melebur setiap dosa dan keberadaannya menjadi solusi di tengah masyarakat. Bukan menjadi sampah masyarakat. Namun sayang, umat Islam Indonesia sendiri tampaknya tidak terlalu memperhatikan aspek ini. Umat Islam, termasuk saya, masih lebih senang berkutat dengan masalah aspek lahiriah dan gerakan shalat. Saya sendiri serimg merasa risih bila ada seseorang yang shalat di samping saya menggerakkan jari telunjuknya saat tasyahud, risih bila bacaan Al-Quran yang dibaca imam itu tak sesuai makhraj dan tajwid, dan merasa terganggu bila ada yang berdzikir dengan suara keras.

Memang saya akui, perilaku dan sikap lahiriah shalat saya belum menjadi kekuatan yang mendorong hidup menjadi lebih baik. Sehingga wajar bila daya spiritualitas shalat tidak mengubah perilaku dan sikap keberagamaan kita di masyarakat. Kadang dengan pemahaman agama yang seadanya, berani menganggap salah terhadap yang berbeda tata cara dan bacaan shalat dengan kita. Jelas, sikap fanatis dan merasa benar sendiri dalam urusan syariah atau ibadah merupakan bentuk ketidakdewasaan sekaligus menunjukkan diri kita masih dangkal dalam beragama. Bagaimana mungkin bisa meraih keridhaan Allah bila dalam menjalankan aturan-Nya pun tak ridha dengan ketentuan Allah tentang adanya perbedaan? Pemahaman agama yang bersifat ‘asal terima’ membuat akal sehat dan nurani tak berfungsi. Akal yang seharusnya mampu membedakan dan menimbang, malah menjadi pembenar sekaligus memihak; dan hati yang seharusnya menelisik “kebenaran” dengan daya rasa (ruhani), malah tenggelam dalam gumam yang tak berwujud.

Benarlah yang diungkapkan Abdul Karim Soroush, umat Islam masih menyakralkan “pemahaman agama” atau “Islam sebagai identitas” ketimbang agama atau kebenaran Ilahi itu sendiri. Umat Islam masih menganggap benar tafsir gurunya, ketimbang suara nurani dan kebenaran yang berdasarkan pengetahuan Ilahi. Jelas, ini sebuah masalah yang seharusnya segera diupayakan agar kita tidak terlalu “asyik” tenggelam dalam dunia lahiriah dan pertentangan yang berkepanjangan. Saya kira fakta sejarah tentang pembunuhan dan caci-maki terhadap sesama kaum Muslimin—karena berbeda mazhab dan pemahaman—tak perlu terulang kembali. Bukankah tujuan shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar? Bukankah shalat itu diawali takbir dan diakhiri salam? Mari bersama-sama mengagungkan Allah dan membuktikan diri kita selaku Muslim dengan selalu menebarkan kedamaian agar selamat dunia dan akhirat.

Terakhir, ini sebagai bahan renungan buat kita, Imam Ja`far Ash-Shadiq, guru para imam mazhab fiqh Sunni menyampaikan, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya.”

Oleh AHMAD SAHIDIN

http://www.cahaya-islam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=482

Keterkaitan Shalat dan Akhlak

(Diantara rahasia shalat)

Shalat sebagai tiang agama, penyangga bangunan megah lagi perkasa. Ia sebagai cahaya terang keyakinan, obat pelipur ragam penyakit di dalam dada dan pengendali segala problem yang membelenggu langkah-langkah kehidupan manusia. Oleh karenanya, shalat dapat mencegah perilaku keji dan munkar, menjauhkan hawa nafsu yang condong pada kejelekan untuk mencampakkannya sejauh mungkin (Asykuri, tt:137)

Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan megah indah yang memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta ekspresi positif seseorang untuk berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah, yang diantaranya menuntut kepada mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari takbir, ruku’, sujud, dan salam. Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan fikih, tanpa ada kemuan yang mendalam atau keinginan untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.

Pertama, latihan kedisiplinan. Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh, manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu (Toto Tasmara, 2001: 81). Dari segi banyaknya aturan dalam shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya maupun hal-hal yang dilarang ketika shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat pada peraturan, tidak “semau gue” ataupun menuruti keinginan pribadi semata.

Kedua, latihan kebersihan, sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan dirinya terlebih dahulu, yaitu dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga diharapkan orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.

Ketiga, latihan konsentrasi. Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat. Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi. Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi kecemasan.

Keempat, latihan sugesti kebaikan. Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat) merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, latihan kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah...(dari lembarjum'at)

http://cafepojok.com/forum/archive/index.php/t-3100.html

"Hebatnya Malaikat"

Malaikat Itu, Institusi Bukan?

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Pak Ustadz, ana masih belum jelas tentang jumlah malaikat. Misal malaikat Rokib Atid. Apakah jumlah malaikat Rokib itu hanya satu untuk mencatat amal kebaikan semua manusia, dan Atid juga satu untuk mencatat amal perbuatan buruk semua manusia? Atau tiap orang didampingi dua malaikat. Jadi kalau ada 1.000 orang berarti malaikat Rokibnya 1.000, malaikat Atidnya 1.000? Mohon penjelasannya. Begitu juga dengan malaikat Jibril, apakah hanya satu saja ataut iap mewahyukan/menurunkan surat/ayat Al-Quran kepada Rosulullah yang menyampaikannya malaikat Jibril yang berbeda?

Atas penjelasan pak Ustadz, ana ucapkan beribu terima kasih.

WAssalamualaikum w.w.

Nono Taryono

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Malaikat itu adalah makhluq ghaib yang berbeda dengan manusia. Mulai dari bentuk tubuh, faal, sosok wujudnya serta mekanisme kerja para malaikat itu sangat berbeda dengan yang bisa dibayangkan oleh manusia..

Meski dalam banyak riwayat seringkali malaikat itu digambarkan punya sayap, namun yang pasti, sayap itu tidak seperti sayap burung atau sayap pesawat terbang, yang berfungsi untuk melawan gaya gravitasi. Hal itu karena para malaikat bukan wujud benda pisik yang seperti kita manusia, karena mereka tidak terikat denganhukum-hukum fisika yang berlaku untuk manusia.

Tentang kemampuan para malaikat menangai sejumah tugas berat, mungkin sulit kita bayangkan kalau kita masih berkutat dengan logika manusia.

Di zaman dahulu, mungkin kita tidak membayangkan adanya jaringan komputer yang bisa menghimpun dan memproses sekian banyak data dalam hitungan detik. Tidak terbayang saat itu bahwa sebuah bank bisa melayani nasabah baik penyetoran, transfer atau penarikan uang dalam 24 jam untuk jutaan nasabah sekaligus. Tetapi teknologi di masa sekarang telah membuktikan apa-apa yang di masa lalu mungkin belum terlintas.

Kalau teknologi manusia bisa mendapatkan kemajuan luar biasa, melewati apa yang pernah bisa dibayangkan sebelum 100 tahun yang lalu, maka rasanya terlalu naif buat kita untuk bisa membayangkan bagaimana sistematika dan kinerja para malaikat yang sedemikian sempurna.

Dahulu mungkin kita agak bingung membayangkan bagaimana sibuknya malaikat Izrail dalam mengerjakan tugasnya. Misalnya, bila terjadi bencara alam yang menimbulkan korban jiwa jutaan orang dalam waktu bersamaan. Pikiran purba kita mungkin akan dengan bodoh menanyakan, bagaimana sang Izrail melakukan semuanya?

Padahal kalau kita bercermin dengan teknologi jaringan komputer di masa sekarang, rasanya pekerjaan serumit tugas Izrail itu jadi mudah dibayangkan. Komputer di masa sekarang ini bisa menangani data jutaan dalam waktu sepersekian detik. Padahal itu baru komputer buatan manusia.

Tentu saja malaikat bukan komputer. Tetapi maksud kami, kalau komputer yang buatan manusia saja bisa melakukan pekerjaan serumit itu, apalagi malaikat, pastilah malaikat bisa dengan mudah melakukan pekerjaannya yang memang spesialis di bidangnya.

Namun yang jelas malaikat bukan sebuah institusi seperti yang kita bayangkan. Seperti sebuah kantor departemen di dalam negara kita. Malaikat adalah individu super canggih ciptaan Allah SWT yang secara khusus diciptakan untuk menjadi hamba yang taat. Di balik semua kelebihan dan kesupercanggihannya, tetap saja ada kekurangannya.

Apa kekurangan malaikat?

Dibandingkan manusia, malaikat punya banyak kekurangan. Yang terutama adalah masalah pilihan Allah SWT kepada manusia untuk menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi. Dengan segala kekurangan dan kelemahan manusia, Allah SWT memberikan manusia akal untuk berpikir, melakukan inovasi, melahirkan rekayasa serta kebebasan untuk memilih. Dilihat dari sudut pandang malaikat, semua itu justru merupakan kelemahan para malaikat.

Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan para malaikat bersujud kepada Adam alaihissalam, bukan sujud penyembahan melainkan sujud penghormatan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber Malaikat Itu, Institusi Bukan?

http://blog.re.or.id/malaikat-itu-institusi-bukan.htm