Kamis, Juli 30, 2009

Daya Spiritualitas Shalat

Daya Spiritualitas Shalat


SHALAT adalah doa. Doa yang diiringi gerakan-gerakan tubuh yang memiliki “daya spiritual” bagi yang melakukannya.
Namun, tak semua orang bisa merasakannya, hanya orang-orang tertentu saja. Rasulullah saw termasuk yang merasakan dan menemukannya, sehingga terasa sekali dampak dari shalat yang dilakukannya itu.

Masyarakat Arab yang musyrik berhasil diubahnya menjadi masyarakat yang bertauhid, berakhlak mulia, dan beradab. Sebagian tokoh Quraisy yang dulunya membenci—entah karena kalah atau memang sadar—bertekuk lutut dan mengakui kebesaran dan kebenaran risalah Islam yang dibawa putra Abdullah dan Aminah itu. Mereka berikrar syahadah dan menjalankan beban (taklif) yang diemban oleh seorang Muslim. Setelah wafat “penjaga” risalah itu, mereka—meskipun masih beridentitas Islam—kembali ke tradisi lama, seperti berlaku curang dalam urusan ekonomi dan menindas yang lemah. Kaum Muslim yang dekat dengan keluarga Nabi Muhammad saw banyak menjadi korban kekejaman mereka. Hingga abad pertengahan Masehi kedudukan mereka langgeng dalam kekuasaan yang turun temurun diwariskan ke anak dan keturunannya. Sebut saja penguasa-penguasa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah serta kerajaan-kerajaan yang mengaku beridentitas Islam, sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah saw.

Islam hanya menjadi identitas saja, bukan sebagai pedoman yang menuntun jalan hidup kita. Tingkah laku dan sikap mereka tak mencerminkan akhlak yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa kecewanya—bila pembawa risalah Ilahi itu masih hidup—melihat umatnya tak lagi mengikuti tata aturan hidupnya, bahkan bergelimang dalam dosa dan aktivitas madharat. Sehingga orang-orang yang setia dalam keislaman tidak terlihat peranannya karena tertutupi gencarnya aksi dan identitas mereka. Ini mungkin masalahnya sehingga tujuan dan nilai penting ibadah shalat yang dijalankan kaum Muslim tidak tampak dalam kesehariannya. Karena pikiran, mental, dan niatnya sudah tergadaikan dengan hal-hal yang berbau materi, hasrat berkuasa, kesenangan dunia, dan hasrat seksualitas yang berlebih. Sehingga yang shalat dan tak shalat, secara kasat mata tak ada bedanya. Menurut informasi, ada segelintir anggota dewan yang sebelumnya dikenal sebagai sosok `alim, nyantri, dan anti-maksiat, saat bersentuhan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terjerumus pula dalam kemaksiatan. Padahal, ia sehari-harinya melakukan shalat berjamaah dan penceramah dibeberapa majelis taklim. Sungguh ironis bukan!

Shalat yang bagaimanakah yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar itu? Dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 45, Allah Ta`ala berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.”

Memang harus saya akui urusan ibadah bila dilihat secara nyata dalam hidup ini tak ada kaitannya. Saya sendiri terkadang memisahkan urusan dunia dan ibadah, sehingga banyak pelanggaran yang dilakukan. Jika dalam shalat kita bisa berdiri menghadap kiblat dengan mantap dan bacaan yang mengalir. Namun dalam urusan menunggu atau antre kadang selalu ingin yang paling duluan. Jika dalam shalat saya bisa bertahan dalam menyelesaikan bacaan al-fatihah dan surat lainnya. Tapi di luar shalat, terutama saat mengerjakan pekerjaan, kadang suka melewati batas deadline dan bahkan pulang sebelum beres. Disiplin, mungkin jadi alasan. Ya, itu juga pelajaran dari shalat: tepat waktu. Harus saya akui bahwa itu memang sulit dan butuh dilatih terus-menerus. Ini yang saya rasakan: shalat saya masih belum berpengaruh dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Bila dilihat dari tafsir teologis, ayat di atas bisa dimaknai bahwa hakikat shalat adalah menumbuhkan keyakinan terhadap Allah Yang Mahasegalanya dan mengingatkan tentang adanya hari kebangkitan (al-ma`ad); sehingga berpengaruh kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Penjelasan ini setidaknya dapat dilihat dari aspek hukum (perintah Allah): jika shalat ia termasuk beruntung, dan bila tidak ia akan buntung atau rugi karena bakal kena azab.

Begitu juga dengan gerakan-gerakan shalat. Bisa ditafsirkan bahwa seseorang yang berdiri dan bertakbir dalam shalat merupakan bentuk pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang lebih agung, lebih besar, dan lebih tinggi kedudukannya dari semua makhluk di alam semesta ini. Saat membaca al-fatihah, diri (manusia) yang rendah di hadapan Allah mengakui secara lisan bahwa Allah adalah Tuhan yang memberikan kasih dan sayang serta berbagai kenikmatan hidup di dunia ini pada semua makhluk, termasuk manusia. Sambil mengucapkan pujian, diri kita memohon curahan kasih dan sayang-Nya; mengakui kekuasaan-Nya dan mengingat hari yang paling menentukan kedudukan manusia di akhirat. Melalui pembacaan surat al-fatihah: kita mengakui hanya Allah yang layak disembah dan dimintai pertolongan, baik dunia maupun di akhirat nanti. Melalui lantunan surat al-fatihah: makhluk rendah ini berdoa memohon kepada Allah agar diberi petunjuk-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus dan berlindung supaya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai-Nya serta tidak termasuk mereka yang tersesat.

Selanjutnya, badan kita bergerak untuk merunduk rukuk. Memaksakan diri untuk mengakui secara jasad bahwa Allah yang pantas disembah dan dimuliakan. Melalui rukuk kita memuji Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung. Dengan rukuk kita sadar bahwa diri ini rendah.

Pengakuan rendah dihadapan Allah semakin terasa saat sujud; bersungkur di atas tanah sekaligus mengakui bahwa manusia itu berasal dari saripati tanah, yang berarti makhluk hina. Kehinaan diri diangkat oleh-Nya dengan memasukkan ruh-Nya pada jasad sehingga hidup dan disebut manusia. Ruh yang suci dan unsur tanah yang hina menjadi satu dalam satu wadah: manusia. Keduanya saling mendominasi dan menggerakkan kita. Unsur tanah selalu mendorong kita pada perilaku yang hina, buruk, dan cenderung kepada materi. Sebaliknya, ruh suci menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus patuh dan taat serta memikul amanah dari-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia hanyalah makhluk biasa yang tidak abadi dan pasti bakal mati—saat tiba masanya ruh suci yang berada dalam diri manusia diambil kembali oleh pemilik-Nya. Dari pengakuan kita bahwa Allah Yang Mahatertinggi kedudukannya inilah gerakan sujud menjadi sarana penghapus segala ego dan kesombongan manusia.

Dari sikap rendah itu kita bangkit. Duduk bersimpuh dan bersaksi bahwa Allah adalah esa (tunggal) dan Muhammad merupakan utusan-Nya; yang membawa petunjuk hidup bagi manusia, yang kebenarannya terjamin hingga akhirat. Kita pun membaca shalawat, salam, dan doa untuk manusia agung, nabi terakhir Muhammad saw. Juga memohon kepada-Nya supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang saleh dan mendoakan saudara se-agama; menyebarkan kebaikan dan mewujudkan kedamaian di bumi-Nya. Di sinilah peran manusia sebagai khalifah dimulai: mengisi dan menjalankan kehidupan. Di sinilah pertentangan dalam diri dimulai: menjadi manusia sempurna atau menjadi makhluk hina.

Dari pemaknaan dan penghayatan shalat inilah seorang Muslim akan memiliki daya spiritualitas atau gelombang besar yang mampu melebur setiap dosa dan keberadaannya menjadi solusi di tengah masyarakat. Bukan menjadi sampah masyarakat. Namun sayang, umat Islam Indonesia sendiri tampaknya tidak terlalu memperhatikan aspek ini. Umat Islam, termasuk saya, masih lebih senang berkutat dengan masalah aspek lahiriah dan gerakan shalat. Saya sendiri serimg merasa risih bila ada seseorang yang shalat di samping saya menggerakkan jari telunjuknya saat tasyahud, risih bila bacaan Al-Quran yang dibaca imam itu tak sesuai makhraj dan tajwid, dan merasa terganggu bila ada yang berdzikir dengan suara keras.

Memang saya akui, perilaku dan sikap lahiriah shalat saya belum menjadi kekuatan yang mendorong hidup menjadi lebih baik. Sehingga wajar bila daya spiritualitas shalat tidak mengubah perilaku dan sikap keberagamaan kita di masyarakat. Kadang dengan pemahaman agama yang seadanya, berani menganggap salah terhadap yang berbeda tata cara dan bacaan shalat dengan kita. Jelas, sikap fanatis dan merasa benar sendiri dalam urusan syariah atau ibadah merupakan bentuk ketidakdewasaan sekaligus menunjukkan diri kita masih dangkal dalam beragama. Bagaimana mungkin bisa meraih keridhaan Allah bila dalam menjalankan aturan-Nya pun tak ridha dengan ketentuan Allah tentang adanya perbedaan? Pemahaman agama yang bersifat ‘asal terima’ membuat akal sehat dan nurani tak berfungsi. Akal yang seharusnya mampu membedakan dan menimbang, malah menjadi pembenar sekaligus memihak; dan hati yang seharusnya menelisik “kebenaran” dengan daya rasa (ruhani), malah tenggelam dalam gumam yang tak berwujud.

Benarlah yang diungkapkan Abdul Karim Soroush, umat Islam masih menyakralkan “pemahaman agama” atau “Islam sebagai identitas” ketimbang agama atau kebenaran Ilahi itu sendiri. Umat Islam masih menganggap benar tafsir gurunya, ketimbang suara nurani dan kebenaran yang berdasarkan pengetahuan Ilahi. Jelas, ini sebuah masalah yang seharusnya segera diupayakan agar kita tidak terlalu “asyik” tenggelam dalam dunia lahiriah dan pertentangan yang berkepanjangan. Saya kira fakta sejarah tentang pembunuhan dan caci-maki terhadap sesama kaum Muslimin—karena berbeda mazhab dan pemahaman—tak perlu terulang kembali. Bukankah tujuan shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar? Bukankah shalat itu diawali takbir dan diakhiri salam? Mari bersama-sama mengagungkan Allah dan membuktikan diri kita selaku Muslim dengan selalu menebarkan kedamaian agar selamat dunia dan akhirat.

Terakhir, ini sebagai bahan renungan buat kita, Imam Ja`far Ash-Shadiq, guru para imam mazhab fiqh Sunni menyampaikan, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya.”

Oleh AHMAD SAHIDIN

http://www.cahaya-islam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=482

Keterkaitan Shalat dan Akhlak

(Diantara rahasia shalat)

Shalat sebagai tiang agama, penyangga bangunan megah lagi perkasa. Ia sebagai cahaya terang keyakinan, obat pelipur ragam penyakit di dalam dada dan pengendali segala problem yang membelenggu langkah-langkah kehidupan manusia. Oleh karenanya, shalat dapat mencegah perilaku keji dan munkar, menjauhkan hawa nafsu yang condong pada kejelekan untuk mencampakkannya sejauh mungkin (Asykuri, tt:137)

Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan megah indah yang memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta ekspresi positif seseorang untuk berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah, yang diantaranya menuntut kepada mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari takbir, ruku’, sujud, dan salam. Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan fikih, tanpa ada kemuan yang mendalam atau keinginan untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.

Pertama, latihan kedisiplinan. Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh, manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu (Toto Tasmara, 2001: 81). Dari segi banyaknya aturan dalam shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya maupun hal-hal yang dilarang ketika shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat pada peraturan, tidak “semau gue” ataupun menuruti keinginan pribadi semata.

Kedua, latihan kebersihan, sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan dirinya terlebih dahulu, yaitu dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga diharapkan orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.

Ketiga, latihan konsentrasi. Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat. Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi. Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi kecemasan.

Keempat, latihan sugesti kebaikan. Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat) merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, latihan kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah...(dari lembarjum'at)

http://cafepojok.com/forum/archive/index.php/t-3100.html

"Hebatnya Malaikat"

Malaikat Itu, Institusi Bukan?

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Pak Ustadz, ana masih belum jelas tentang jumlah malaikat. Misal malaikat Rokib Atid. Apakah jumlah malaikat Rokib itu hanya satu untuk mencatat amal kebaikan semua manusia, dan Atid juga satu untuk mencatat amal perbuatan buruk semua manusia? Atau tiap orang didampingi dua malaikat. Jadi kalau ada 1.000 orang berarti malaikat Rokibnya 1.000, malaikat Atidnya 1.000? Mohon penjelasannya. Begitu juga dengan malaikat Jibril, apakah hanya satu saja ataut iap mewahyukan/menurunkan surat/ayat Al-Quran kepada Rosulullah yang menyampaikannya malaikat Jibril yang berbeda?

Atas penjelasan pak Ustadz, ana ucapkan beribu terima kasih.

WAssalamualaikum w.w.

Nono Taryono

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Malaikat itu adalah makhluq ghaib yang berbeda dengan manusia. Mulai dari bentuk tubuh, faal, sosok wujudnya serta mekanisme kerja para malaikat itu sangat berbeda dengan yang bisa dibayangkan oleh manusia..

Meski dalam banyak riwayat seringkali malaikat itu digambarkan punya sayap, namun yang pasti, sayap itu tidak seperti sayap burung atau sayap pesawat terbang, yang berfungsi untuk melawan gaya gravitasi. Hal itu karena para malaikat bukan wujud benda pisik yang seperti kita manusia, karena mereka tidak terikat denganhukum-hukum fisika yang berlaku untuk manusia.

Tentang kemampuan para malaikat menangai sejumah tugas berat, mungkin sulit kita bayangkan kalau kita masih berkutat dengan logika manusia.

Di zaman dahulu, mungkin kita tidak membayangkan adanya jaringan komputer yang bisa menghimpun dan memproses sekian banyak data dalam hitungan detik. Tidak terbayang saat itu bahwa sebuah bank bisa melayani nasabah baik penyetoran, transfer atau penarikan uang dalam 24 jam untuk jutaan nasabah sekaligus. Tetapi teknologi di masa sekarang telah membuktikan apa-apa yang di masa lalu mungkin belum terlintas.

Kalau teknologi manusia bisa mendapatkan kemajuan luar biasa, melewati apa yang pernah bisa dibayangkan sebelum 100 tahun yang lalu, maka rasanya terlalu naif buat kita untuk bisa membayangkan bagaimana sistematika dan kinerja para malaikat yang sedemikian sempurna.

Dahulu mungkin kita agak bingung membayangkan bagaimana sibuknya malaikat Izrail dalam mengerjakan tugasnya. Misalnya, bila terjadi bencara alam yang menimbulkan korban jiwa jutaan orang dalam waktu bersamaan. Pikiran purba kita mungkin akan dengan bodoh menanyakan, bagaimana sang Izrail melakukan semuanya?

Padahal kalau kita bercermin dengan teknologi jaringan komputer di masa sekarang, rasanya pekerjaan serumit tugas Izrail itu jadi mudah dibayangkan. Komputer di masa sekarang ini bisa menangani data jutaan dalam waktu sepersekian detik. Padahal itu baru komputer buatan manusia.

Tentu saja malaikat bukan komputer. Tetapi maksud kami, kalau komputer yang buatan manusia saja bisa melakukan pekerjaan serumit itu, apalagi malaikat, pastilah malaikat bisa dengan mudah melakukan pekerjaannya yang memang spesialis di bidangnya.

Namun yang jelas malaikat bukan sebuah institusi seperti yang kita bayangkan. Seperti sebuah kantor departemen di dalam negara kita. Malaikat adalah individu super canggih ciptaan Allah SWT yang secara khusus diciptakan untuk menjadi hamba yang taat. Di balik semua kelebihan dan kesupercanggihannya, tetap saja ada kekurangannya.

Apa kekurangan malaikat?

Dibandingkan manusia, malaikat punya banyak kekurangan. Yang terutama adalah masalah pilihan Allah SWT kepada manusia untuk menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi. Dengan segala kekurangan dan kelemahan manusia, Allah SWT memberikan manusia akal untuk berpikir, melakukan inovasi, melahirkan rekayasa serta kebebasan untuk memilih. Dilihat dari sudut pandang malaikat, semua itu justru merupakan kelemahan para malaikat.

Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan para malaikat bersujud kepada Adam alaihissalam, bukan sujud penyembahan melainkan sujud penghormatan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber Malaikat Itu, Institusi Bukan?

http://blog.re.or.id/malaikat-itu-institusi-bukan.htm

Senin, Mei 04, 2009

Surat Teman.....

Surat dari teman… untuk teman…

BUMI KITA DAN KIAMAT

Bumi kita ini, jika dihitung dari jaman dinosaurus mungkin sudah mencapai ratusan juta tahun bahkan mungkin sudah sampai milyaran tahun. Sungguh bumi ini sudah tua dan rapuh.

Temanku… Allah berfirman: “kehancuran di alam dunia ini disebabkan oleh tangan-tangan (jail) manusia”. Akibat manusia suka membuang sampah sembarangan, maka terjadilah banjir. Akibat manusia suka menebang pohon, maka timbullah longsor, tanah mulai gersang dan lempengannya menjadi bergeser dan menyebabkan gempa bumi, panas bumi mulai bertambah dengan banyaknya rumah kaca yang tidak diimbangi dengan penghijauan alam dan menyebabkan lapisan ozon di atmosfir kita tidak kuat menahan sinar matahari / serpihan meteor. Efeknya kemudian, bumi kita semakin panas, dan gunung-gunung es meleleh karena panas teriknya matahari. Coba bayangkan bagaimana jadinya jika gunung-gunung es semuanya mencair menyatu dengan lautan, maka lautan akan menjadi penuh dan tentunya luapan air laut akan mengisi dan membenamkan daratan. Gunung yang tadinya terlihat kokoh dan indah dengan pemandangan hijau daunnya hutan, karena aksi penebangan manusia yang tidak bertanggung jawab, akan menjadi gersang dan panas. Akibatnya kemudian letusan gunung-gunung berapi tidak bisa dihindari.

Wahai teman…

Coba renungkan 1x lg… Bagaimana jadinya,

1. Jika gunung-gunung tak kuasa menahan letupan panas laharnya.

2. Jika tanah daratan yang kita pijak, tak lagi mampu bertahan akibat gunung-gunung yang dianggap paku bumi menghamburkan isinya.

3. Jika gunung-gunung es mencair karena tak kuat menahan teriknya matahari

4. Jika lautan tak lagi kuasa menampung air yang bertambah akibat mencairnya gunung es.

5. Jika Atmosfir tak lagi mampu menahan panas matahari dan serpihan batuan angkasa yang terlempar ke bumi.

Teman… tentunya,

  1. Gunung akan mengeluarkan lahar panas dan batuan panas yang beterbangan…
  2. Tanah daratan akan bergeser dan menyebabkan gempa di darat dan tsunami di laut
  3. Daratan akan tertutup oleh ganasnya luapan air laut.
  4. Atmosfir tak kuasa lagi menahan panas matahari dan serpihan meteor yang berhamburan ke bumi ini.

Temanku… Apakah ini merupakan tanda kiamat? Atau hanya sebagian dari kiamat? Atau… ini semua justru yang akan menjadi penyebab kiamat?

Siapakah penyebabnya???

Teman… Mari bayangkan…

Jika saat itu kamu berada di tengah-tengah kehancuran dunia ini. Kamu berada dalam letupan gunung dan muntahan batuan-batuan panasnya gunung, banjir dimana-mana, gempa menyusul dan tsunami mengejar, ditambah dengan lemparan meteor yang beterbangan tak menentu arah. Wahai kawan… hendak kemana kamu berlindung… kemana kamu akan lari… kepada siapa kamu meminta pertolongan, sedangkan semua orang dibuat panik oleh kehancuran dunia.

Masihkah kita akan mengaku sombong, masihkah kita merasa hebat, masihkah kita menyatakan diri kita kuat…?

Renungkan baik-baik…........ Wahai Temanku yang baik.

Sungguh… Allah Swt Maha Tahu dan Maha Perkasa

Kata Mutiara:

“Jadikan hidup hari ini lebih berarti dari kemarin”

Mari terus berlomba-lomba memupuk kebaikan….

Salam dari teman…. untuk teman….

Selasa, April 07, 2009

Keimanan: Hari Kiamat

Hari Kiamat

Oleh admin pada Kiamat

Hari Kiamat merupakan hari yang digambarkan sebagai musnahnya seluruh alam dan bumi dan kebangkitan semula. Kiamat berasal dari perkataan bahasa Arab iaitu ???? yang bermaksud bangkit atau bangun. Ia merupakan satu kepercayaan dalam agama Ibrahim, termasuk Yahudi, Kristian dan Islam.

Nama-nama hari kiamat dalam Islam. Nama-nama tersebut disebut dalam al-Quran:

No

Transliterasi

Arab

Terjemahan

1

Yawm al-Qiyamah

??? ???????

Hari kebangkitan

2

al-Sa’ah

??????

Waktu

3

Yawm al-Akhir

??? ?????

Hari Akhir

4

Yawm al-Din

??? ?????

Hari akhir (agama)

5

Yawm al-Fasl

??? ?????

Hari keputusan

6

Yawm al-hisab

??? ??????

Hari perhitungan

7

Yawm al-Fat?

??? ?????

Hari pengadilan

8

Yawm al-Talaq

??? ??????

Hari perpisahan

9

Yawm al-Jam’(i)

??? ?????

Hari pengumpulan

10

Yawm al-Khulud

??? ??????

Hari kekekalan

11

Yawm al-Khuruj

??? ??????

Hari Keluar

12

Yawm al-Ba’ats

??? ?????

Hari Kebangkitan

13

Yawm al-'asr

??? ??????

Hari penyesalan

14

Yawm al-Tanad

??? ??????

Hari pemanggilan

15

Yawm al-?zifa?

??? ??????

Hari mendekat

16

Yawm al-Taghabun

??? ???????

Hari terbukanya aib

17

Yawm al-Wa’ad

??? ??????

-

18

Yawm al-Azm

????? ??????

Hari agung

19

al-Yawm al-Masyhad

????? ???????

Hari penyaksian

20

al-Qori'ah

???????

Bencana yang menggetarkan

21

al-Ghosyiah

???????

Bencana yang tak tertahankan

22

al-??khkha?

??????

Bencana yang memilukan

23

al-T?mma? al-Kubra

?????? ??????

Bencana yang melanda

24

al-Haqqa

??????

Kebenaran esar

25

al-Waqi’ah

???????

Peristiwa besar

Sesungguhnya setiap makhluk hidup, apakah itu manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan memiliki tanda-tanda dari akhir kesudahan hidupnya di dunia. Tanda-tanda dekatnya kematian manusia adalah rambut beruban, tua, sakit, lemah. Begitu juga halnya dengan hewan, hampir sama dengan manusia. Sedangkan tumbuhan warna menguning, kering, jatuh, lalu hancur. Demikian juga alam semesta, memiliki tanda-tanda akhir masanya seperti kehancuran dan kerusakan.Saa’ah asalnya adalah sebagian malam atau siang.

Dikatakan juga: Saa’at segala sesuatu berarti waktunya hilang dan habis. Dari makna ini, maka saa’ah atau kiamat mengandung dua macam, yaitu : Saa’ah khusus bagi setiap makhluk, seperti tanaman binatang dan manusia ketika mati; dan bagi sebuah umat jika datang ajalnya. Itu semua dikatakan telah datang saatnya. Saa’ah umum bagi dunia secara keseluruhan ketika ditiup sangkakala, maka hancurlah segala yang di langit dan di bumi.

Bagaimana dengan kiamat yang sebenarnya? Tentu saja lebih dahsyat, lebih besar, dan lebih mengerikan. Dan Alquran banyak menyebutkan tentang kejadian di hari kiamat. Terjadinya kiamat adalah hal yang gaib. Hanya Allah saja yang tahu. Tidak satu pun dari makhlukNya mengetahui kapan kiamat, baik para nabi maupun malaikat. Allah SWT. Berfirman, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.” (Luqman 34).

Maka ketika ditanya tentang hal ini, Rasulullah saw. Mengembalikannya kepada Allah swt., “Kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (Fushilat: 47)

Allah merahasiakan terjadinya hari kiamat, dan menerangkan bahwa kiamat akan datang secara tiba-tiba. “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’.” (Al-A’raaf: 187)

Namun demikian, sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya telah menjadikan kiamat memiliki alamat yang menunjukkan ke arah itu dan tanda-tanda yang mengantarkannya. “Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila hari kiamat sudah datang?” (Muhammad: 18)

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula’).” (Al-An’am: 158)

Senin, Januari 19, 2009

Kriteria Hukum Islam

Mengenal Macam-macam Hukum

dalam Syari’at Islam

Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagain ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.

Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.

Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib

2. Sunnah

3. Haram

4. Makruh

5. Mubah

1. Wajib: para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:

“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab“

Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.

Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.

Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:

(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63

“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.

2. Sunnah:

“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa

Contoh: Nabi saw bersabda:

-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم

Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.

..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….

“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.

Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:

1. Sunnah

2. Mubah

Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.

Alasan untuk menetapkan hal itu adalah atas dasar firman Allah swt:

-لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26

“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-

Allah swt memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan (kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman Allah:

-هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلاّ الإِحْسَانُ. –الرحمن:60

Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.

Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa kita sebut sebagai “ganjaran”.

3. Haram:

“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh: Nabi saw bersabda:

-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني

“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.

Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.

4. Makruh:

Arti makruh secara bahasa adalah di benci. “Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.

Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.

Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:

-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173

“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”

Kata إِنَّمَا dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu huruf yang dipakai untuk membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti: hanya, tidak lain melainkan. Salah satu hadits Nabi saw yang menggunakan huruf “innama” ini adalah:

إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَةِ

“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila aku akan mengerjakan shalat“. Hadits riwayat Imam Tirmidzi.

Dengan ini berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.

5. Mubah:

Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.

“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“

Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31

Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.

WaLLAHU a’lam bis shawaab

Bahan bacaan:

· Tafsir Ibnu Kastir

· Seri Tafsir Ayat-ayat Hukum buku2, luthfie abdullah Ismail

· Mudzakkirah ushulil fiqh, Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali

· Ushul Fiqh, Dr. Husain Hamid

· Taisir Al-Wusul ilal Ushul, ‘Atha bin Khalil diterjemkan oleh Yasin As-Siba’i

· Soal-Jawab, A. Hassan

Senin, Januari 12, 2009

Ibadah/Mu'amalah: Kriteria Makanan HARAM!

Ada dua kriteria yang menjadikan makanan itu haram, yakni makanan yang diharamkan secara Lidzaatihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan, dan makanan yang diharamkan secara Lighairihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram.

1. Makanan yang diharamkan secara Lidzaatihi

Makanan yang diharamkan secara Lidzaatihi adalah jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan. Adapun jenis makanan yang haram secara Lidzaatihi, antara lain:

a) Jenis makanan yang disebutkan keharamannya dalam Al-Qur`an, antara lain:

§ Bangkai (daging binatang yang mati tanpa disembelih)

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 3, dan Al-An‘Am ayat 145;

§ Darah (darah yang mengalir dari seluruh binatang, kecuali Ikan)

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3, dan Al An‘Aam ayat 145;

§ Daging babi (dan seluruh produk dari babi)

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 3, dan Al-An‘Aam ayat 145;

§ Daging binatang yang disembelih dengan nama selain Allah

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 3, dan Al-An‘Aam ayat 145;

§ Daging binatang yg tidak disebut asma Allah ketika disembelih

Hal ini tercantum dalam surat Al-An‘Aam ayat 118 dan 121;

§ Khamr (minuman/makanan yg memabukkan serta turunannya)

Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 219, Al-Maidah ayat 90-91.

b) Jenis makanan yang disebutkan keharamannya dalam Al-Hadist, antara lain:

§ Makanan/minuman yang menjijikkan (Jallalah)

Segala hal yang menjijikkan (misalnya : cacing, bekicot, tikus, belatung, kecoa, ulat, dll) tidak boleh dikonsumsi.

§ Daging binatang buas (yang bertaring dan berkuku tajam)

Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw melarang memakan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkram. Misalnya: Harimau, Singa, Ular, Anjing, Kucing, Beruang, dan lain-lain.

Berdasarkan asal dzatnya, pada dasarnya makanan berasal dari dua sumber yaitu: hewani (produk hewan) dan nabati (produk tumbuhan). Semua tumbuhan pada umumnya adalah halal jika ia tidak beracun atau tidak diniatkan untuk digunakan dalam membuat makanan yang haram, seperti menanam anggur untuk membuat wine atau bir. Diperbolehkannya untuk memakan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dijelaskan dalam Firman Allah SWT:

Dan Dialah (Allah) yang menjadikan (untuk kamu) kebun-kebun yang menjalar tanamannya dan yang tidak menjalar, pohon-pohon tamar dan tanaman yang berlainan (bentuk, rupa dan rasa) buahnya, zaitun, delima yang bersama [warna dan daun dan tidak bersama (rasa)]. Makanlah buahnya ketika ia berbuah dan keluarlah haknya pada hari memetiknya (menuai)”

(Al-An’am [6]:141)

Produk hewani dalam syariat Islam sudah dijelaskan dengan jelas. Hewan yang halal untuk dimakan hendaknya disembelih mengikuti ketentuan Islam. Menyembelih yang sah adalah memotong dua saluran utama leher hewan, yaitu saluran makanan dan pernafasan. Menyembelih yang sempurna adalah dengan terpotongnya juga dua urat nadi leher. Tujuan dari menyembelih hewan secara agama di samping untuk mematikan hewan juga untuk menghilangkan darah dari daging. Ini karena darah haram dikonsumsi. Tata cara menyembelih yang Islami adalah sebagai berikut:

1). Membaca Basmalah. Mayoritas ulama mengatakan wajib membaca Basmalah. Tidak membacanya dengan sengaja ketika menyembelih menyebabkan tidak halalnya hewan yang disembelih, dengan berlandas kepada ayat surah al-An’am : 121

“Dan jangan kamu sekalian memakan hewan yang tidak disebutkan nama Allah kepadanya”.

2) Sebaiknya dilakukan pada siang hari.

3)Menghadapkan hewan yang disembelih ke arah kiblat dan penyembelih juga disunnahkan menghadap ke arah kiblat.

4) Menidurkan hewan yang hendak disembelih pada sisi kirinya dan menajamkan pisau yang digunakan untuk menyembelih.

Selain itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyembelihan yaitu sebagai berikut:

§ Tidak boleh dilakukan pemingsanan

§ Menggunakan pisau yang tajam dan tidak dipakai bersamaan untuk menyembelih hewan haram

§ Tidak menyiksa hewan

§ Lokasi penyembelihan tidak dipakai untuk menyembelih hewan haram

Terdapat juga kumpulan-kumpulan hewan yang tidak dibenarkan untuk dimakan, mengikuti mazhab Imam Syafi’e, seperti anjing, binatang yang bertaring dan bergading, binatang yang beracun, binatang yang hidup dalam dua alam, bangkai, binatang yang memakan najis semata-mata, dan babi. Dua faktor utama yang perlu dipegang untuk mementukan status halal adalah wajib menyebut nama Allah saat penyembelihan. Al-Qur`an dengan tegas sudah mengatur hal itu.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

(An-Nahl [16]:115)

2. Makanan yang diharamkan secara Lighairihi

Makanan yang diharamkan secara Lighairihi adalah jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram. Adapun jenis makanan yang haram secara Lighairihi, antara lain:

a) Makanan dan atau harta dari hasil mencuri.

Mencuri yang dimaksud adalah mengambil atau memanfaatkan sesuatu tanpa seijin pemilik yang sah. Diantara hal tersebut, antara lain

· Makanan yang halal secara dzatnya, tetapi hasil mencuri.

· Mencicipi buah/makanan tanpa minta ijin penjualnya saat berada di kios/warung.

b) Makanan dan atau harta dari hasil berjudi.

Dalam hal ini, makanan atau harta hasil judi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari membeli impian akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa dengan pengorbanan yang kecil. Diantaranya yang termasuk kategori judi adalah:

· Toto gelap (togel), judi totor, judi kartu, dan lain-lain

· Judi melalui SMS di televisi.

· Judi melalui sepeda gembira.

· Judi melalui kuis, sayembara, kupon berhadiah, dan lain-lain.

c) Makanan/harta dari hasil riba

Makanan/harta dari hasil riba atau segala jual beli yang tidak jelas (ghoror), berpotensi membuat kecewa dan menimbulkan konflik dibelakang hari adalah haram hukumnya. Diantaranya yang sering terjadi dalam keseharian adalah:

· Memanfaatkan Bunga Bank;

· Jual beli sesuatu yang tidak jelas spesifikasinya (Misalnya Jual beli ketela, tetapi ketelanya masih di dalam tanah, atau jual beli anak hewan/ternak yang masih dalam kandungan);

· Sistem ijon (pembelian padi sebelum masak dan diambil setelah masak).

d) Makanan/harta dari hasil korupsi.

Dalam hal ini yang termasuk didalamnya adalah segala makanan/harta yang diperoleh dengan mengambil hak (properti) masyarakat untuk kepentingan pribadi.

e) Makanan/harta dari hasil jual beli barang haram.

· Uang dari hasil jual beli Miras (minuman keras), Narkoba, dan lain-lain.

· Uang dari hasil jual beli babi, daging bangkai, dan lain-lain.

f) Makanan/harta dari hasil suap menyuap.

Menyuap diartikan sebagai memberikan sesuatu (uang dan atau benda) kepada penguasa agar urusan menjadi lancar. Hal ini sering terjadi dalam permasalahan hukum, misalnya pejabat yang bersalah dapat menjadi tidak bersalah karena menyuap, atau beberapa profesi yang lain. Dalam hal suap menyuap, Rasulullah menyampaikan bahwa Orang yang menyuap dan orang yang disuap, dua-duanya dilaknat oleh Allah.