Kamis, Januari 08, 2009

Keimanan: Abu Hanifah dan Ilmuwan

K

isah berikut adalah penuturan dari Imam Abu Hanifah. Pada zaman itu ada seorang ilmuwan besar yang sangat terkenal. Sayangnya, ilmuwan berkebangsaan Romawi ini seorang atheis dan menolak mentah-mentah keberadaan Tuhan.

Ketika itu, para ulama diam saja dan tidak berusaha untuk menyadarkan si ilmuwan. Tentu saja tidak semua ulama diam, masih ada yang peduli dengan keadaan tersebut. Hal ini bisa berbahaya jika membiarkan si ilmuwan memengaruhi akidah umat. Ulama yang dimaksud adalah guru Abu Hanifah yang bernama Hammad.

Pada suatu hari, orang-orang sudah brkumpul di sebuah mesjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang mau berdebat dengannya. ada maksud tersembunyi dibalik tantangan itu. Sesungguhnya, dia bermaksud menjatuhkan para ulama dengan argument-argument yang rasional.

Si ilmuan semakin congkak, apalagi setelah tantangannya tak bersambut. Dia mengira semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorangpun yang berani menyambut tantangannya. Hal ini semakin diperkuat dengan suasana didalam mesjid yang tiba-tiba hening. Beberapa orang saling pandang, ada pula yang mengarahkan pandangan ke deretan paling depan tempat beberapa ulama duduk.

Dari sekian banyak hadirin. Ada seorang pemuda yang merasa sebel melihat kecongkakan si ilmuwan. Namun, ia berusaha menahan diri, barangkali ada seorang ulama senior yang berani tampil menghadapi tantangan itu.

Sang pemuda menunggu lama. Setelah yakin tak ada yang mau maju, barulah ia berdiri dan melangkah menuju mimbar.

“Saya Abu Hanifah, siap berdebat dengan Anda,” kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri.

Semua mata hadirin tertujua kearah Abu Hanifah. Mereka merasa heran melihat keberanian sang pemuda. Beberapa orang mengatakan salut kepada Abu Hanifah, si ilmuwan sendiri merasa heran melihat keberanian Abu Hanifah. Akan tetapi, kebanyakan hadirin bersikap sinis terhadap Hanifah dan menyepelekan kemampuannya. Ada pula yang mempertanyakan motif Abu Hanifah tampil ke depan. Apakah sekedar asal tampil, membuat sensasi, atau mencari popularitas?

Wajah Abu Hanifah tetap tenang. Beliau tidak terpengaruh oleh berbagai bisikan yang ada, termasuk yang bernada miringsekalipun. Sikap Abu sangat rendah hati. Dia menahan diri untuk berbicara karena merasa masih terlalu muda, sementara didalam mesjid masih ada beberapa ulama senior. Dia sendiri berharap ada seorang ulama senior yang mau meladeni tantangan si ilmuwan. Sayang, tidak ada seorangpun dari mereka yang mau naik ke mimbar.

“Silahkan anda yang memulai,” ujar Abu Hanifah mempersilahkan dengan sopan.

“Tahun berapa Tuhan kamu dilahirkan?” Tanya ilmuwan kafir.

“Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan,” jawab Abu Hanifah.

“ Hmm, masuk akal jika dikatakan Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Lalu, pada tahun berapa Dia ada?”

“Dia ada sebelum segala sesuatu ada,” tegas Abu Hanifah.

“Bisa berikan contoh konkret mengenai hal ini?”

“Anda tahu tentang perhitungan?” Abu Hanifah balik bertanya.

“Iya, saya tahu.”

“Angka berapa sebelum angka satu?”

“Tidak ada,” jawab ilmuwan kafir.

“Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu. Lalu, mengapa Anda bingung bahwa sebelum Allah itu tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya?”

“Baiklah. Sekarang, dimanakah Allah berada? Sesuatu yang berwujud pasti membutuhkan tempat, bukan?” lanjut si ilmuwan.

“Anda tahu bentuk susu?” Tanya Abu Hanifah.

“Iya, saya tahu,” jawab si ilmuwan.

“Apakah didalam susu itu terdapat keju?”

“ya, tentu.”

“Kalau begitu, coba perlihatkan dimana tempat keju itu sekarang!”

“Jelas tidak ada tempat khusus. Keju itu bercampur dengan susu diseluruh bagiannya,” jawab si ilmuwan dengan semangat.

“Nah, keju saja tidak mempunyai tempat khusus didalam susu. Tidak sepatutnya Anda meminta saya untuk menunjukkan tempat Allah berada.”

“Sekarang, tolong jelaskan Dzat Allah. Apakah wujud Allah itu benda padat seperti batu, benda cair seperti susu, ataukah seperti gas?”

“Anda pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal dunia?”

“Pernah.”

“Awalnya, orang sakit itu bisa berbicara dan bisa menggerakan anggota badannya, bukan? “Ya, memang demikian halnya.”

“Tetapi, mengapa tiba-tiba orang sakit itu diam tidak bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?”

“Jelas itu karena ruh orang tersebut telah berpisah dari tubuhnya.”

“Sewaktu ruh itu keluar, apakah Anda masih berada disana?”

“Saya masih disana.”

“Coba jelaskan, apakah ruh orang tersebut benda padat, cair, atau gas?”

“Wah, kalau itu saya tidak tahu.”

“Anda sendiri tidak dapat menerangkan bentuk ruh, apalagi saya harus menerangkan Dzat Allah yang menciptakan ruh.”

“Lazimnya, sesuatu itu mempunyai arah. Kemanakah Allah menghadapkan wajah-Nya sekarang?” Tanya si ilmuwan lagi.

“Apabila Anda menyalakan lampu, kearah manakah cahaya lampu itu menghadap?”

“Cahayanya menghadap ke semua arah.”

“Lampu yang buatan manusia saja seperti itu, apalagi dengan Allah Sang Pencipta alam semesta, Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Ada awal dan akhir. Seseorang masuk surga itu ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akhirnya? Mengapa surga dan para penghuninya itu kekal abadi?” kata si ilmuwan melanjutkan pernyataannya.

“Untuk hal itu, Anda bisa membandingkannya dengan perhitungan angka. Angka itu ada awalnya, tetapi tidak ada akhirnya.”

“Terus, bagaimana pula para penghuni surga itu makan dan minum tanpa buang hajat?”

“Ini pernah Anda alami sewaktu didalam rahim ibu. Selama sembilan bulan Anda makan dan minum tanpa pernah buang hajat. Anda baru buang air besar dan buang air kecil beberapa saat setelah terlahir ke dunia.”

“Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan surga itu bisa terus bertambah tanpa ada habisnya!”

Ada banyak hal yang semacam itu didunia. Misalnya, ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang ketika dimanfaatkan, malah semakin bertambah.”

“Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa pekerjaan Allah sekarang?”

“Sejak tadi Anda menjawab pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari atas lantai masjid ini. Kali ini untuk menjawab pertanyaan anda, saya mohon Anda turun dari mimbar. Saya akan menjawab pertanyaan Anda tadi di mimbar.”

Kemudian, si ilmuwan turun dari mimbar, dan Abu Hanifah naik ke mimbar.”

“Saudara-saudara, dari atas mimbar ini saya akan menjawab pertanyaan tadi. Bisa anda ulangi pertanyaannya?” tutur Abu Hanifah setelah berada diatas mimbar masjid.

“Apa pekerjaan Allah sekarang?” kata si ilmuwan menjelaskan inti pertanyaanya.

“Pekerjaan Allah tentu saja berbeda dari pekerjaan makhluk. Ada pekerjaan-Nya yang bisa dijelaskan, dan ada pula yang tidak bisa dijelaskan. Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir seperti Anda dari atas mimbar, kemudian menaikkan seorang Mukmin keatasnya. Seperti itulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu.”

Akhirnya, hadirin yang ada didalam masjid merasa puas dengan jawaban-jawaban Abu Hanifah. Jelas, lugas, tegas, dan mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar